Oleh: Drs. I Dewa Nyoman Sarjana, M.Pd
Tahun ini, kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional sering disingkat Hardiknas yang ke-117 tahun, bertepatan dengan lahirnya organisasi Budi Utomo yaitu tanggal 20 Mei 1908. Kelahiran Budi Utomo sebagai orgnisasi modern pada masa itu, merupakan tonggak sejarah atas kesadaran kolektif untuk menumbuhkan kesadaran nasional, cinta tanah air, dan semangat kebangsaan. Mereka kaum terpelajar, dan golongan priyayi, menyadari betul, bahwa untuk membangun semangat nasionalisme, semangat kebangsaan tidak bisa ditempuh lewat jalur kekerasan saja, tetapi pemikiran yang cerdas akan bisa mempengaruhi atas kesetiaan terhadap bangsa dan negara. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah semangat kebangkitan nasional masih memiliki relevansi 20 tahun kedepan, saat Indonesia Emas mencapai puncaknya?
Bonus Demografi
Kita sepakat bahwa Indonesia yang sudah melimpah dengan kekayaan alam, juga dianugrahi jumlah penduduk yang juga banyak, kurang lebih 250 juta. Jumlah penduduk yang banyak itu lebih dari 60% terdiri dari anak muda. Inilah yang menjadi kebanggaan sekaligus tantangan bagi bangsa Indonesia. Apakah bonus demografi ini akan bermanfaat? Tentu banyak hal yang mempengaruhi. Sekiranya oleh pemerintah, tokoh-tokoh bangsa, tidak sekedar menjadikan bonus demogafi ini sekedar slogan untuk mengambil keuntungan dari peluang yang ada. Untuk itu pemerintah dan semua pihak mempersiapkan anak muda dengan sebaik-baiknya. Pemerintah dan swasta mestinya menciptakan lapangan kerja berkualitas dan mendukung kewirausahaan. Ada pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia. Nilai-nilai integritas, kerja keras, dan toleransi ditanamkan sejak dini dikalangan anak muda.
Dengan langkah di atas diharapkan bonus demografi memberi manfaat atas pertumbuhan ekonomi lebih cepat. Dengan tenaga kerja berkualitas tinggi, produktivitas akan meningkat, dan ekonomi bisa tumbuh pesat. Dampaknya akan lahir generasi muda yang inovatif, kreatif dan melek teknologi. Ini bisa mendorong Indonesia menjadi pusat inovasi baru, dan pada akhirnya menumbuhkan stabilitas nasional.
Peran Pendidikan
Dalam dua dekade ke depan, bangsa Indonesia akan dihadapkan pada tantangan dan peluang yang jauh lebih kompleks. Bonus demografi akan mencapai puncaknya. Generasi muda hari ini akan menjadi penggerak utama roda bangsa. Namun, kebangkitan tidak hanya soal jumlah penduduk usia produktif, tetapi juga kualitas sumber daya manusia, karakter, dan integritas.
Teknologi akan menjadi tulang punggung peradaban. Apakah bangsa ini akan menjadi pengguna pasif atau pencipta inovasi! Dari situlah pendidikan menempati peran vital dan strategis. Pendidikan yang relevan, berbasis literasi digital, serta budaya berpikir kritis akan menentukan apakah bangsa Indonesia mampu bangkit sebagai bangsa yang mandiri dan berdaulat.
Berbicara soal pendidikan di Indonesia dewasa ini, rupanya belum menemukan formula yang tepat dalam implementasinya. Kita masih bergulat pada tataran kebijakan formal, tapi lupa memperbaiki hal yang mendasar. Pergantian kurikulum dalam decade ini, seolah hanya pergantian istilah, tapi isi di dalamnya masih yang itu-itu saja. Pemerintah harus fokus pada pola pendidikan yang berfokus pada keterampilan abad ke-21 (literasi digital, berpikir kritis, komunikasi, dan kolaborasi), secara bersungguh-sungguh. Mungkin perlu diambil langkah strategis seperti isu pengambil alihan SDM guru yang terpusat. Daerah hanya menjalankan kebijakan pusat sesuai arahan yang diberikan. Berbagai aturan yang dibuat soal pendidikan jangan seperti bim salabim, hanya memuaskan pihak-pihak tertentu, tetapi abai terhadap dampak negatif yang ditimbulkan terhadap peserta didik. Ketika kita abai terhadap kualitas pendidikan kebangkitan nasional menyongsong Indonesia emas, akan menjadi bayangan semu.
Melalui pendidikan yang berkualitas juga diharapkan lahir generasi emas yang mampu menjaga harmoni dengan lingkungan. Indonesia yang kaya akan sumber daya alam harus tumbuh tanpa menghancurkan. Pendidikan yang berkualitas, diharapkan menjadi pionir perubahan mentalitas, mulai dari mental korup, intoleransi, dan kebodohan menyerap informasi yang benar.
Penulis, Wakil Ketua PGRI Provinsi Bali.
